Jumat, 16 Desember 2011

wanita iran

REPUBLIKA.CO.ID, Yogyakarta--Tiga perempuan dari Iran membagi cerita mereka tentang perempuan, hak asasi, dan dunia Islam dengan masyarakat Yogyakarta, Kamis (15/12). Mereka adalah Fereshteh Ruh Afza, Tahereh Nazari, dan Shayesteh Khuy.
Mereka bukan perempuan Iran biasa. Fereshteh Ruh Afza adalah perempuan terpilih tahun 2010 dari Presiden Republik Islam Iran serta pengelola program TV untuk perbandingan hak-hak perempuan antara Islam dan Barat. Tahereh Nazari adalah ketua Komite Internasional Dewan Kebudayaan Sosial Perempuan Republik Islam Iran sekaligus sebagai direktur urusan internasional hak asasi perempuan. Sedangkan Shayesteh Khuy merupakan seorang guru dan pengurus divisi perempuan Pusat Konsultasi Astan-e Qods-e Razavi, Mashad, Republik Islam Iran.
Ketiga perempuan Iran tersebut sengaja didatangkan ke Indonesia untuk membagi cerita tentang perempuan dalam perjuangan untuk hak asasi dalam dunia Islam. Menurut penyelenggara, ketua Raushan Fikr Institute, AM Safwan, Indonesia patut belajar dari Iran soal hak asasi perempuan.
Iran, yang terkesan sangat fundamentalis, faktanya merupakan negara yang sangat terbuka. Hal itu terlihat dari sistem pemerintahan maupun hukum yang ada. Di Indonesia sebagai negara demokrasi, kata Safwan, faktanya seorang perempuan tergantung suami dalam kasus perceraian. Juga dalam dunia politik, Iran lebih terbuka untuk perempuan.
"Selain itu, mereka juga memperkenalkan keadilan di dunia terkait perempuan," kata Safwan pada Republika. Safwan menambahkan, yang paling patut kita pelajari adalah kekuatan bertahan Iran karena mampu bertahan dari tekanan Barat.
Dalam uraiannya, Fereshteh Ruh Afza lebih banyak mengungkapkan persoalan media yang semakin lama menganggap perempuan hanya sebatas obyek penarik bagi larisnya program-program mereka. Tareheh Nazari lebih banyak bercerita tentang peran perempuan dalam masyarakat Islam, terutama di Iran.
Lalu Shayesteh Khuy yang seorang guru menceritakan peran perempuan dalam kebangkitan Islam. Menurutnya, gerakan perjuangan perempuan memiliki dua tahap, pertama saat penguasaan imperialis Barat dan Timur pertengahan abad ke-20, dan tahap kedua adalah peristiwa revolusi Islam di Iran oleh Khomeini. Namun, lanjut Khuy, gerakan perempuan itu melemah karena adanya tekanan oleh pihak imperialis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar